Beranda | Artikel
Nama-Nama Dan Sifat Allah Termasuk Aqidah
Sabtu, 15 Mei 2004

NAMA-NAMA DAN SIFAT-SIFAT ALLAH TERMASUK AQIDAH

Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan

Pertanyaan
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Apakah pengetahuan tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah termasuk bagian dari aqidah ? Apakah kita diwajibkan untuk memperingatkan umat dari sebagian tafsir yang telah di- takwil di-tahrif dan di-ta’thil ?

Jawaban.
Benar, (mengetahui) nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, serta mengimaninya adalah salah satu dari macam-macam Tauhid. Karena Tauhid terdiri dari tiga macam, yaitu Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah, dan Tauhid Asma wa Sifat.

Tauhid Rububiyah maskudnya adalah mengesakan Allah Subhanhu wa Ta’ala dalam hal perbuatan-perbuatanNya, seperti dalam hal mencipta, memberi rizki, menghidupkan dan mematikan, serta mengatur makhluk. [1]

Tauhid Uluhiyah maksudnya adalah mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam hal perbuatan-perbuatan hamba ketika ber-taqarrub (mendekatkan diri) kepadaNya. Jika seorang hamba beribadah sesuai dengan apa yang diinginkan syariat, ikhlas hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, serta tidak menjadikan sekutu bagiNya dalam ibadah tersebut, maka inilah yang dinamakan Tauhid Uluhiyah.

Sedangkan Tauhid Asma wa Sifat maksudnya adalah menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah sebagaimana yang Dia tetapkan untuk diriNya atau apa yang telah ditetapkan oleh RasulNya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa melakukan tahrif [2], ta’thil [3], takyif [4] dan tamstil [5]

Kita menetapkan segala nama dan sifat yang telah Allah tetapkan untuk diriNya dan yang telah ditetapkan oleh RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga tanpa tahrif, ta’thil, takyif, dan tamtsil.

Adapun tentang tahrif, ta’thil, takyif, dan tamtsil yang terdapat pada sebagian tafsir Al-Qur’an, maka penjelasan tentang hal itu (hanya ditujukan) kepada para pelajar (penuntut ilmu syar’i) karena apabila dijelaskan kepada orang-orang awam, mereka tidak akan dapat mengambil manfaat dari penjelasan tersebut, tentunya hal seperti ini tidak semestinya terjadi karena hanya akan menimbulkan was-was dan menyibukkan masyarakat dengan sesuatu yang tidak mereka pahami. Sebagaimana ungkapan Ali Radhiyallahu ‘anhu, “Berbicaralah kepada manusia dengan apa yang mereka pahami. Apakah kalian ingin mereka mendustakan Allah dan RasulNya” [6]

Jadi dalam menyampaikan (suatu perkara), kepada orang awam ada caranya sendiri dan kepada penuntut ilmu syar’i ada cara sendiri.

Untuk orang awam penyampaian perkara aqidah, perintah-perintah, larangan-larangan, ancaman, balasan dan pelajaran disampaikan secara mujmal (global). Diajarkan kepada mereka tentang pondasi agama seperti rukun Islam yang lima dan rukun iman. Hal-hal ini diajarkan kepada mereka dan dituntut untuk menjaganya. Sebagaimana dulu di negeri ini (negeri Haram) hingga waktu dekat ini, mereka dahulu menjaga agama mereka di masjid-masjid, menjaga rukun Islam, rukun Iman, makna dua kalimat syahadat, baik syahadat La ilaaha illallah maupun syahadat Muhammadan Rasulullah, menjaga rukun, syarat dan hal-hal yang wajib di dalam shalat juga menjaga apa-apa yang mereka butuhkan dari perkara-perkara agama.

Adapun bagi penuntut ilmu syar’i dijelaskan dan diterangkan serta diajarkan kepada mereka ta’wil (tafsir). Akan tetapi jangan sampai mencela penulis (pengarang). Seperti mengatakan, ‘Penulis seorang mubtadi’ (pelaku bid’ah), sesat (dan sebagainya)’. Akan tetapi cukup dengan mengatakan, Tafsir ini salah dan yang benar adalah begini atau tafsir ini adalah tafsir fulan semata atau didalamnya terdapat sifat fulan. Tanpa mencela ulamanya, membid’ahkannya atau mencela kepribadiannya.

Karena hal ini tidaklah mendatangkan manfaat bagi masyarakat, bahkan akan mengakibatkan para penuntut ilmu syar’i akan menjauhi para ulama dan berburuk sangka terhadap mereka. Karena tujuan sesungguhnya hanyalah memperbaiki kesalahan, itu saja. Bukan mencela seseorang dengan perkataan ‘pelaku bid’ah, bodoh dan sesat. Yang seperti ini tidaklah mendatangkan manfaat sama sekali. Bahkan akan menimbulkan pertentangan, buruk sangka kepada ulama, mengakibatkan perseteruan pemikiran dan ikut campur di dalam membeberkan (mengorek aib) para ulama, baik yang sudah wafat maupun yang masih hidup. Ini tidaklah mendatangkan kebaikan.

Menjelaskan kebenaran hendaklah kepada mereka yang mampu untuk memahaminya, seperti para pelajar penuntut ilmu syar’i. Sementara orang awam yang tidak mampu memahaminya serta tidak dapat menanggkapnya cukup dijelaskan kepada mereka perkara-perkara yang amat mereka butuhkan, dari perkara-perkara agama, ibadah, shalat, zakat serta puasa. Yang terpenting adalah permasalahan aqidah secara sederhana agar dapat mengambil manfaat darinya. Jangan bertele-tele sehingga memberatkan mereka dan membuat mereka jenuh, semestinya dengan cara sederhana.

[Al-Muntaqa min Fataawaa Syaikh Shalih bin Fauzan III/17-19]

[Al-Muntaqa min Fatawa Syaikh Shalih bin Fauzan III/17-19 Di salin ulang dari Majalah Fatawa edisi 4/I/Dzulhijjah 1423H. Alamat Pondok Pesantren Islamic Center Bin Baz, Piyungan – Bantul, Yogyakarta]
______
Footnote.
[1]. Maksudnya hanya Dialah yang melakukan perbuatan-perbuatan tersebut tanpa yang lain.
[2]. Tahrif yaitu menyimpangkan makna atai sifat Allah dari yang sebenarnya tanpa dalil.
[3]. Ta’thil yaitu meniadakan atau menolak adanya nama-nama atau sifat-sifat Allah, sebagian atau secara keseluruhan.
[4]. Takyif adalah menentukan hakikat tertentu dari sifat-sifat Allah.
[5]. Tamtsil yaitu menyamakan atau menyerupakan nama atau sifat Allah dengan nama atau sifat makhlukNya.
[6]. Disebutkan oleh Bukhari di dalam shahihnya 1/41 dari Ali Radhiyallahu ‘anhu


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/723-nama-nama-dan-sifat-allah-termasuk-aqidah.html